Thursday, 5 June 2008

UMKM yang selalu terjepit

Elastis, fleksibel, adaptif. Itulah karakter pengusaha mikro, kecil, dan menengah. Berbagai kiat diterapkan, umumnya dilakukan secara diam-diam, tanpa jeritan.

Diam-diam karena mereka tidak memiliki kekuatan menawar, apalagi kekuatan politik, untuk menekan penentu kebijalan. Berapa kali dalam setahun pelaku UMKM mendapat kesempatan untuk didengarkan pendapatnya sebelum pemerintah mengambil kebijakan? Atau dengar pendapat di parlemen yang melibatkan UMKM? Padahal, populasi yang begitu banyak mestinya mewujud dalam keterwakilan kepentingan.

Menurut data Badan Pusat Statistik, usha skala besar di seluruh Indonesia berjumlah 44.038 unit, usaha menengah 152.789 unit, usaha kecil 3,6 juta unit. Usaha mikro lebih dhsyat lagi karena berjumlah 19 juta unit. Masih ada 12.532 unit usaha yang tidak teridentifikasi.

Dari sisi jumlah UMKM sekitar 22,7 juta unit, betapa dahsyat kekuatan katup penyelamat ekonomi rakyat itu. Dengan asumsi setiap unit usaha mempekerjakan dan menghidupi rata-rata lima orang, UMKM memberi hampir separuh dari total penduduk kehidupan. Mereka tidak berteriak meminta fasilitas, kecuali penyesuaian agar bisa keluar dari kesumpekan dampak kebijakan yang sering kali tidak cermat penghitungannya.

Sejak tahun 2005 harga BBM sudah naik tiga kali. Kenaikan itu otomatis mendorong peningkatan harga bahan baku, onkos transportasi, biaya listrik, dan tenaga kerja. Sementara harga yang mesti dibayar meningkat, daya beli konsumen justru melemah. UMKM memotong margin keuntungan yang memang sudah tipis. Banyak yang bangkrut, tetapi lebih banyak yang bertahan dengan berbagai kiat.

Pasca kenaikan harga BBM Mei lalu, serentak harga kebutuhan lain pun berlompatan naik. Selain harga naik, distribusi BBM juga tidak lancar. Seperti kita lihat dalam siaran televisi antrean terjadi, pemburuan BBM terlihat dimana-mana. Silih berganti peristiwa dan kebijakan menghantam UMKM. Setelah harga BBM naik, minyak tanah tetap susah dicari, gas menghilang, harganya seolah tak tertahankan.

Padahal, ketersediaan BBM dalam jumlah cukup seharusnya menjadi konpensasi bagi mereka. Kompensasi itu pun belum terlihat, kesulitan dunia usaha diwarnai pula pemadaman listrik dengan durasi yang kian panjang akibat amburadulnya manajemen kelistrikan. Sebuah perusahaan di Purbalingga, misalnya, terpaksa menyalakan lilin untuk penerangan saat mengerjakan order.

Kendati elastis, fleksibel, dan adaftif, tidak berarti mereka harus selalu "ditinggalkan" dalam setiap kebijakan. Pemarjinalan UMKM harus dihentikan. Susahnya UMKM, sulitnya kehidupan rakyat.

Apalgi, kekeringan kini melanda sejumlah daerah. Hendaknya tidak dilihat sebagai peristiwa rutin. Faktanya, ada sekian banyak orang yang kehilangan hasil ditengah melorotnya daya beli dan meningkatnya harga kebutuhan pokok, seolah tak terkendalikan.


Salam sukses,


Junaedi

#sumber: KOMPAS (04 Juni 2008)

No comments:

Post a Comment